airputih

Kisah Corina, Si Penebar Harapan dan Inspirasi



PEREMPUAN itu tersenyum cerah, mengambil tempat duduk, diam menunggu, dan dengan tatapannya yang khas polos kekanakan, dia bertutur mengungkapkan kegembiraan, karena dapat datang bertanding di Bali, sebuah tempat yang selama ini hanya didengarnya dari teman-temannya petenis.

Corina Morariu hanyalah satu dari sekitar lima puluh pemain tenis putri tingkat dunia yang datang ke Nusa Dua, Bali, untuk bertanding pekan lalu. Bertanding penuh semangat, Corina harus menyerah di babak kedua nomor tunggal, dan di nomor ganda bersama Nicole Pratt (Australia), dia terpaksa mundur karena cedera bahu saat melawan pasangan Svetlana Kouznetsov/Arantxa Sanchez-Vicario di perempat final. Dengan tubuhnya yang langsing itu, Corina telah melewati pertandingan dengan maut dan dia berhasil "menundukkan" leukemia. Penyakit itu telah memaksanya absen selama 1,5 tahun dari lapangan tenis.

Kini, dia tidak ingin lagi dibebani target saat bertanding. "Saya baru saja kembali. Kembali bermain telah memberikan kegembiraan dan motivasi terutama karena kesadaran saya dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dapat saya bayangkan bisa saya lakukan lagi. Yang jelas, saya akan bermain sebaik-baiknya, semaksimal mungkin," tutur Corina sambil tersenyum.

Bagi Corina, kata "perjuangan" tidak lagi penting untuk diucapkan karena pergulatan hidupnya, penderitaannya dalam mengatasi leukemia telah jauh melebihi lontaran kata-kata klise itu. Namun, sampai sekarang pun dia tidak tahu sampai kapan dia akan bisa berjuang melawan kanker karena sekarang masih dalam perawatan.

"Saya masih menelan pil setiap hari dan menjalani tes darah sebulan sekali. Juga tes sumsum tulang belakang setiap tiga bulan. Ini yang paling tidak enak," tuturnya usai bertanding melawan pemain nomor satu dunia, Serena Williams, di AS Terbuka awal bulan September lalu kepada wartawan tenis kawakan, Barry Wood.

Ketika melawan Serena, Corina menunjukkan semangat bertanding yang luar biasa. Tanpa diduga, meskipun kalah dia berhasil merebut lima poin, dengan angka akhir 2-6, 3-6. Dan, penonton pun amat bersemangat mendukungnya. Dalam wawancara usai pertandingan itu di Flushing Meadows, Corina mengungkapkan, "Ada perasaan luar biasa karena saya merasakan dukungan begitu besar dari semua orang. Dari penggemar, dari penonton yang tiba-tiba menghampiri saya dan mengatakan, 'Anda benar-benar memberi inspirasi', atau, 'Sungguh mengagumkan apa yang kau lakukan'. Hal-hal seperti itu sangat berharga bagi saya."

***
BULAN Mei 2001 adalah bulan kelabu bagi Corina. Saat itu hidupnya sedang berada di puncak. Dia menduduki peringkat pertama dunia untuk ganda, merebut gelar juara ganda di Wimbledon bersama Lindsay Davenport tahun sebelumnya, dan pasangan ini empat bulan sebelumnya juga mencapai final grand slam Australia Terbuka, dan pada saat bersamaan ganda campurannya bersama Ellis Ferreira menjuarai turnamen akbar pembuka tahun itu. Namun, pada bulan itu juga dia mendapat vonis, didiagnosa menderita pyromyelocitic leukemia. Selanjutnya dia menderita sesak napas sebagai efek samping perawatan kemoterapi. Itulah masa kritis, nyawanya di ujung tanduk.

Namun, saat itu dia tidak merasa dunianya runtuh. "Saya tidak pernah berkata tenis adalah kehidupan saya. Saya coba menyeimbangkan. Saya selalu berpikir, keluarga sangat penting bagi saya dan saya menikmati kehidupan di luar tenis," katanya.

"Saat itu saya berpikir, saya sudah siap mundur." Ketika itu tidak terpikir saya akan mampu kembali bermain di sini. Ada masa-masa ketika kita merasa situasinya begitu buruk dan segalanya serba sulit, dan kita berpikir tidak akan mampu lagi melakukan hal-hal yang biasanya kita mampu lakukan," tuturnya dengan nada tawar.

"Penyakit ini telah membawa perubahan banyak dalam diri saya. Saya berharap itu ke arah kebaikan. Pa-dahal, untuk berubah sebenarnya tidak perlu seseorang harus melalui cara seperti itu. Bagaimana setelah amat dekat dengan kematian kita tidak mendapatkan pencerahan,"ujarnya retorik. Sikapnya yang sangat positif tersebut muncul berkat orang-orang di dekatnya, bahkan para penggemarnya.

"Suami dan kakak saya, juga orangtua saya, mereka setiap hari mendampingi saya. Juga banyak penggemar dan teman pemain yang menyurati atau mengirim sesuatu. Di antaranya bahkan dari mereka yang saya tidak pernah tahu siapa mereka, yang hanya menyaksikan saya main. Itu semua memberikan banyak kekuatan pada diri saya," tuturnya. Di antara pemain yang sering mengirim surat elektronik dan mengirim pesan adalah Serena Williams.

Tidak pernah menyerah. Itu sikap yang selalu dipegang Corina. "Tidak ada pilihan. Saya bisa saja memilih menjadi depresi dan bertanya-tanya 'Mengapa saya'. Namun, itu hanya akan memperparah kondisi tubuh saya," ungkap Corina. Maka, dia memilih selalu berpikir positif dan tetap memiliki rasa humor. "Itu amat membantu saya dan mereka yang ada di sekitar saya. Kami saling menyandarkan diri satu sama lain. Dengan hal-hal itulah saya berhasil melalui co-baan ini."

Tidak hanya secara mental, secara medis pun dia mendapat bantuan sepenuhnya dari keluarga. Ayahnya, Albin, adalah ahli bedah saraf. Keluarga Corina bisa dikatakan keluarga mapan. Kakak laki-lakinya juga ahli saraf dan sang ibu adalah dokter umum. Sementara suaminya, Andrew Turcinovich, adalah pelatihnya.

"Penyakit ini sendiri sudah berat, mematikan. Pengobatannya juga berat. Tubuh kita dibiarkan melakukan regenerasi, tumbuh lagi tanpa kanker," tuturnya. Sepanjang masa pengobatan itu dia sesekali menyempatkan diri hadir di beberapa kejuaraan untuk berbagi pengalaman. "Pengobatannya sama buruknya dengan penyakitnya. Ada efek sampingan. Penyakit itu mengambil banyak hal dari kita, fisik maupun mental."

Dia mengingat kembali masa-masa rambutnya rontok dan bobot tubuhnya turun drastis. Membutuhkan waktu sekitar tujuh bulan untuk membentuk kembali fisiknya hingga siap bertanding.

***
TENIS, bagi pemain kelahiran 26 Januari 1978 ini, bukanlah segala-galanya. "Fokus saya memang di tenis, tapi saya sekarang juga memperhatikan hal-hal lain. Sekarang setelah mendapatkan kesempatan lagi, saya ingin melakukan sesuatu yang dulu belum dapat saya lakukan," ujarnya.

Memutuskan kembali bermain bukan hal mudah bagi Corina. Januari 2002, dia mulai mempertimbangkan kembali bermain. Kesadaran baru
membawanya pada keputusan bertanding lagi, karena selain demi tenis, dia merasa memiliki tanggung jawab lain, yaitu berbagi kisah tentang dirinya, kisah kemenangannya dari leukemia.

"Keputusan itu amat penting bagi saya, karena saya yakin tenis bisa menjadi pijakan bagi saya untuk menyiarkan kesadaran tentang penyakit ini, sambil melihat apakah saya bisa berbuat sesuatu di tenis lagi," ujarnya. Dia merasa kesempatan ini merupakan hal yang luar biasa, "Tidak terbayangkan akan bermain lagi, saat saya bahkan tidak mampu menaiki tangga rumah, dan lelah luar biasa setelah berjalan 20 meter."

Itulah tugas baru Corina, yaitu mengabarkan kepada sebanyak mungkin orang tentang leukemia, berbagi pengalaman bagaimana menghilangkan rasa takut, agar orang lain bisa menjalani dan melaluinya. "Kalau saya bisa memberikan sedikit harapan dan sedikit inspirasi kepada orang lain, maka saya akan terus berbicara kepada mereka," ujarnya menutup pembicaraan.

Sumber: KOMPAS - Sabtu, 5 Oktober 2002

Related

true story 6844925127220825018

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Terbaru

Populer

Respon

Berlangganan Lewat E-Mail:

Daftarkan untuk menerima 1 email/hari tanpa iklan dan spam

Green Canyon Pangandaran
open trip pulau harapan

Pengunjung

item